Rumah Sakit dan Sosialita - Dunia-Spasi

Monday 20 February 2012

Rumah Sakit dan Sosialita

Rumah Sakit,swasta maupun negeri, adalah tempatnya orang sakit yang berobat, tempat orang punya keahlian bisa membantu orang menyembuhkan penyakit juga membantu mengurangi rasa sakit.
Dan orang-orang tersebut bersatu dalam satu perputaran dalam satu atap Rumah Sakit, yang dimiliki seorang pengusaha atau pemerintah.

Pengusaha dan pemerintah mempunyai kebijakan dalam mengelola rumah sakit tersebut, ada yang punya kebijakan keringanan biaya bagi yang tidak mampu, ada juga yang bersikukuh peraturan sesuai administrasi yang telah diterapkan manajemen perusahaan rumah sakit tersebut.

Para dokter, suster, staff dan pegawai rumah sakit hanya bisa tunduk pada peraturan dan manajemen, jika pada situasi yang menuntut keringanan terjadi, tak bisa apa-apa, kadang pasien yang sedang darurat harus ditangani, didiamkan dulu sampai keluarga pasien menyerahkan uang muka berobat tersebut.

Ingatan saya tertuju pada kejadian kecelakaan alm paman saya di Tahun 2007 lalu, Saat itu paman akan berangkat kerja pada pukul empat subuh, dan di daerah cimanggis Depok, motor yang di kendarai paman saya tertabrak truk besar, paman saya langsung dilarikan ke sebuah rumah sakit swasta di daerah Cibinong oleh warga setempat, karena pihak keluarga belum dikasih tahu, karena paman saya langsung tidak sadarkan diri, maka sampai berapa jam pun jika pihak keluarga belum datang dan tak memberi uang muka pengobatan serta perawatan, tetap didiamkan di ruang UGD, sampai paman saya saat itu keadaannya sangat memprihatinkan, kepalanya terbentur pohon dipinggir jalan saat tertabrak, sehingga pembuluh darah pecah dan mengaliri otak, kaki dan tangan kiri patah, tulang leher pun patah, pihak rumah sakit hanya memberi pertolongan dengan mengikat kepala saja supaya darah tak terus menerus keluar.

Setelah keluarga datang, datangpun agak terlambat karena mungkin warga yang menemukan KTP di dompet paman saya pun kesulitan mencari rumah paman, untuk memberi tahu keadaan paman saat itu, setelah keluarga datang pun, masih belum bisa ditangani, alasannya belum masuk Uang muka sebesar 6 Juta Rupiah, Bibi saya saat itu lemas, dan panik karena melihat kondisi paman yang hancur dan parah serta tidak punya uang dalam jumlah yang diminta, waktu untuk menangani paman pun tertunda lagi, Bibi cari pinjaman kesana kemari agar nyawa paman tertolong, setelah mendapat uang sebesar yang diminta pihak rumah sakit, Bibi langsung ke rumah sakit dan memberikan uang itu di kasir, paman pun langsung ditangani di ruang ICU, kondisinya sangat memprihatinkan, paman langsung koma sampai pukul sebelas malam akhirnya paman pun wafat, sedangkan uang sudah masuk Rp.8 juta, namun tetap tak tertolong, mungkin sudah takdir.

Walau memang takdir ditangan Allah SWT, namun kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh kesembuhan tersebut.

Kami sekeluarga tak menyalahkan pihak yang bekerja di rumah sakit saat itu, karena kami tahu, bahwa dokter, suster dan staff yang bekerja di rumah sakit tersebut hanya ikut peraturan dan kebijakan yang dibuat pihak manajemen rumah sakit, mungkin hati kecilnya ingin menolong langsung kepada siapapun yang tidak mampu sekalipun saat berada di unit gawat darurat tersebut, tetapi peraturan telah merenggut idealisme mereka, jika membantah atau melanggar, taruhannya adalah dipecat atau skorsing atau disuruh bayar biaya sebesar yang dilakukan dalam tindakan pengobatan itu, mungkin mereka juga bukan tak mau menolong membayarkan, apa daya, mereka cuma seorang pegawai yang digaji cukup untuk keluarganya.

Banyak selain paman saya yang mengalami hal tersebut, saat kondisi sangat parah namun tak langsung ditangani, baik di rumah sakit swasta maupun pemerintah, intinya seharusnya rumah sakit tak hanya berorientasi pada bisnis semata, harus ada kebijakan yang manusiawi, siapapun yang mengalami keadaan tak menguntungkan, seperti saat terjadi kecelakaan pada gelandangan dan pengemis yang tak ber identitas sekalipun, tetaplah harus ditangani dan ditolong, karena kemanusiaan harus dijunjung tinggi dimanapun dan terhadap siapapun.

Masalah bisa bayar atau tidak, bisa dilakukan sistem kebijakan yang seimbang, misalnya bekerja sama dengan pihak rumah sakit yang dikelola pemerintah, atau badan yang bisa saling menyumbang dana tambahan untuk alokasi urgent yang dibutuhkan operasional rumah sakit, khusus untuk yang tidak mampu, atau untuk yang pending membayar karena sedang mencari dana.
Bagaimanapun sebuah rumah sakit harus punya sikap sosial dan dekat dengan masyarakat luas, dan tidak terlalu kaku layaknya bisnis atau dagang, yang orientasi pada memperlakukan sebuah barang, saya sangat prihatin ketika sebuah rumah sakit tidak mempedulikan pasien yang datang dengan kondisi parah, namun dibiarkan karena kurang jelas identitasnya juga karena tak ada biaya uang muka untuk berobat, mau tergolek lemas dan bercucuran darahpun tetap dibiarkan bahkan sampai meninggal disana tetap dibiarkan saja, menganggap apa sama sesama manusia kalau seperti ini?

Untuk masalah ambulance pun sebaiknya pihak rumah sakit tidak terlalu membebankan banyak biaya, karena sangat miris dengan berita seorang bapak dari sebuah RS di Jakarta, memangku jenazah anaknya ke bogor memakai kereta listrik, al hasil si bapak di interogasi dulu karena takut berbuat jahat, sudah jatuh tertimpa tangga pula, sungguh prihatin.

Keadaan Indonesia memang sedang carut marut, tapi untuk urusan kemanusiaan seharusnya jangan ikut carut marut, dalam keadaan terbatas seharusnya lebih peka terhadap menolong sesama, terutama rakyat kecil dan rakyat tak berpunya.

Sisi kebaikan dan kemuliaan manusia tak terletak pada apa yang dimilikinya, tapi pada apa yang dia berikan kepada khalayak ramai, dan sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain, wahai para pengusaha rumah sakit, pemerintah dan pihak pemegang saham dan jajaran manajemen rumah sakit, tolonglah buat kebijaksanaan yang pas untuk mereka yang tak mampu atau yang tak beridentitas sekalipun.

5 comments:

  1. test coment dulu *nyuri waktu kerja ne* #dibukmark

    ReplyDelete
  2. begitulah teh,kalo rumah sakit sudah di jadikan komoditas dagang,jadi tidak mau di rugikan barang sepersen pun,seharusnya pihak rumah sakit sadar akan jasanya dalam melayani masyarakat tak melulu harus mendapatkan untung.

    turut berduka cita.

    ReplyDelete
  3. ikut berbla sungkawa..

    semoga ini didengar menjadi pelajaran pneting dunia rumah saklit...

    ReplyDelete
  4. jadi inget pengalaman sendiri, mbak Ani. Tgl 15 des 2011, Kami harus nyediain 42 juta dalam 10 menit kalo gak Mama gak bakalan dioperasi. Hampir nangis saya nyari uang itu dan sampe menguras seluruh jenis kartu (atm/kartu kredit/debet) yang ada di dompet seluruh klrg yang ada di situ. Untung saja, kalo tidak mungkin Mama gak selamat. Padahal dokternya itu temen sendiri n kasih jaminan kami akan bayar tapi besok pagi, tpi Rs tetap aja gak peduli.
    Sampe skrg, sy masih banyak liat pasien yg harus nunggu kamar tersedia berhari-hari dan akhirnya merenggang nyawa krn kelamaan.
    Negeri ini adalah negeri yang melarang orang miskin sakit.

    ReplyDelete
  5. Ikut prihatin dengan apa yang telah Mbak Anny alami pada almarhum Paman mbak. Semoga Paman mbak diberi tempat yg luas dalam kuburnya dan ditempatkan di sisi ALLAH swt, yaitu Surga. Semoga juga 'teriakan' kecil ini bisa sampai pada induknya, yaitu pemerintah melalui Dinkes (Dinas kesehatan) ataupun pihak berwenang yang lainnya yang mengatur alur sistem yang ada karena masih terlihat ada 'kekurangan' disana-sini, postingan ini adalah bukti nyata 'kekurangan' itu. Dan semoga sistem tersebut akan berubah ke jalan yang lebih baik lagi.

    ReplyDelete

@templatesyard