“Mi, persediaan suji sudah menipis, tinggal buat dua adonan lagi, kita
musti cari lagi suji jangan sampai tunggu habis.” Kata Ati sambil mengeluarkan
daun suji yang terbungkus kresek dari kulkas.
Dari arah ruang tengah Ami menjawab “Kalau gitu sepulang sekolah aku akan
cari daun suji ke daerah selatan Kak, sebab daerah barat Bandung kemarin sudah
banyak yang didapat dari rumah-rumah penduduk.”
Foto: kinisehat.com |
Setiap pagi mulai jam setengah delapan, Ami dan kakak perempuannya Ati
memulai kesibukan membuat kue lapis dari mulai menumbuk daun suji untuk
pewarna, membuat adonan dan mengukusnya. Resep turun temurun dari neneknya yang
pantang untuk dilabrak, resep harus tetap asli, tidak boleh ada yang ditambah
atau dikurang, kalaupun ada modifikasi, mungkin tak menghilangkan lapis suji
yang asli, dan produksinya berlainan.
Lapis suji resep turun temurun versi asli itu adalah tepung beras, tepung
kanji, gula pasir, santan, air dan pewarna dari daun suji murni, sedangkan
untuk kue lapis yang umum, pewarna, rata-rata dipakai dari pewarna buatan yang
warnanya ngejreng, atau dari cokelat
bubuk, komposisinya pun tak memakai tepung beras, hanya tepung sagu, gula halus
kadang dicampur pengawet dan gula biang, sehingga terasa agak pahit dilidah, sedangkan
untuk komposisi santannya, sama saja.
Masih berpakaian seragam, Ami sendirian berjalan menyusuri sebuah perumahan
di Jalan Kiara Condong Bandung, setiap rumah diamatinya, jika saja ada tanaman
daun suji disana, melihat sambil berlalu, tidak mengamati secara celingukan,
sepertinya Ami sudah terlatih untuk hunting daun suji, karena seringnya
tuntutan untuk mendapatkan daun suji untuk kue lapisnya yang diproduksi setiap
hari.
Penjualan Lapis Suji di setiap toko yang dititipinya lumayan laris, ada
sisa pun hanya satu dua saja. Ami dan Ati kuliah di sebuah perguruan tinggi di
Bandung. Jauh dari kedua orang tua dan keluarganya di perbatasan Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Mereka ingin membiayai kuliahnya sendiri tanpa menyusahkan orang
tua, makanya mereka berjualan kue Lapis Suji. Usahanya dijalankan berdua saja di
rumah kontrakan dan memasarkannya dengan menitipkan ke toko-toko kue dan
penjual kue subuh di pasar-pasar terdekat.
Awalnya, mereka mendapat banyak penolakan dari toko-toko kue karena Lapis
Suji yang ditawarkan warnanya tidak menarik, warna hijaunya terlalu tua. Itu
alasan penolakan mereka. Berkat kegigihan mereka, dengan promosi besar-besaran
dengan membagikan gratis Lapis Suji nya, konsumen pun jadi tahu keunggulan
Lapis Suji ini. Mulai dari tanpa pengawet, pewarna alami dari daun suji dan
pewangi alami dari daun pandan, komposisi tepung beras, tepung kanji dan santannya
pun pas dan gurih. Ini membuat konsumen ketagihan, bahkan Ami dan Ati kewalahan
menerima pesanan untuk perayaan.
Tapi semua kemajuan itu tetap ada rintangannya.
“Kak Ati, tadi aku ditawari Via untuk kolaborasi di acara bazaar UKM Kampus
nih Kak. Via mau bikin sistem pemasaran yang lebih luas dan pakai tim media
digital. Gimana Kak?” Tanya Ami sambil menaruh belanjaan bahan kue.
“Boleh dicoba, tapi bagaimana dengan bagi hasilnya? Sedangkan kita belum
terlalu besar omzet-nya. Baru cukup memenuhi kebutuhan kita berdua saja.” Kata
Ati.
“Gampang Kak, gak usah dipikirin, Via mau bantu kita tanpa minta dibayar
kok. Sekalian untuk belajar nerapin ilmu marketingnya dengan membantu kita.”
Ami meyakinkan.
“Ya sudah, kalau begitu, kapan mau mulai? Mudah-mudahan omzet kita semakin
bertambah biar mampu membayar Via nanti.”
Via membantu pemasaran kue Lapis Suji buatan Ati dan Ami. Yang tadinya
Lapis Suji tersebut tidak bernama, sekarang menjelma menjadi “Lapis Suji A2”
Via mengarahkan Ati dan Ami untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu.
Misalnya, membuat sosial media dengan nama tersebut, mengelolanya, membuat
label pada kemasan, mendaftarkan ke BPOM dan mengikuti banyak bazaar.
Lapis Suji A2 pun semakin melebar, karena pemasaran melalui sosial media,
konsumennya datang dari segala arah, bahkan ada pesanan dari luar kota yang
mengundang Ati dan Ami untuk membuatnya di sana, supaya tidak basi karena
proses pengiriman.
Ati dan Ami sangat happy bahkan
sudah mampu menyicil rumah sendiri dan membeli mobil operasional walaupun mobil
bekas. Mereka sibuk kuliah, memenuhi pesanan dari sana-sini dan memenuhi
undangan menjadi narasumber talkshow tentang
UKM dari kampus-kampus dan berbagai institusi.
“Alhamdulillah ya Mi, omzet kita sudah lumayan naik. Sudah saatnya kita
membalas kebaikan Via yang sudah banyak membantu. Malam nanti kita undang Via
makan di rumah ya.” Kata Ati pada adiknya.
“Kebetulan Via memang mau ke rumah nanti malam Kak.” Jawab Ami.
Malam yang direncanakan membuat Ati, Ami dan Via hangat dan akrab. Mereka
masak bersama dan becanda sambil merencanakan strategi selanjutnya.
“Via, kami berdua terima kasih banget sudah dibantu proses pemasarannya, kami
mulai bulan depan ingin memberikan tanda terima kasih secara bulanan.
Bagaimana?” Ati membuka maksud utamanya mengundang Via.
“Kak Ati, aku juga makasih banget sudah diundang makan malam dan diberi
kesempatan terlibat dalam pemasaran Kue Lapisnya yang unik tak ada duanya
hehehe. Saya tak perlu dibayar untuk itu Kak, tapi bolehkah saya meminta resep Lapis
Suji nya? Buat pamanku nih Kak yang baru diberhentikan dari pekerjaannya.”
Pinta Via.
Suasana mendadak hening. Ati dan Ami berpandangan. Mereka membatin, bahwa
resep turun temurun ini tak pernah dikasih ke siapa pun selain keluarganya dan
itu pun hanya orang tertentu yang dikasih. Resep rahasia ini, menurut neneknya,
adalah modal usaha yang tak boleh diketahui orang lain untuk menghindari
persaingan.
Sejak pertemuan malam itu, Via menjadi dingin dan cenderung menghindar. Bahkan
Via pernah mengungkapkan rasa kecewanya ke Ami, soal resep yang tak ingin
diberikan. Pertemanan yang tadinya akrab dan penuh kehangatan, berubah menjadi
tidak nyaman dan kikuk.
Ati dan Ami berunding, mereka bukan menyerah pada Via tetapi lebih melihat
ke paman Via yang sudah tidak bekerja dan harus menghidupi keluarganya.
Mengingat untuk mencari pekerjaan sangat sulit dan untuk mencari pekerjaan
pasti sulit, mengingat usia dan skill
yang semakin bersaing.
“Mi, kita kasih saja resep ini, walau kita melanggar aturan keluarga dalam
menjaga resep Lapis Suji ini tapi kita punya maksud menyelamatkan keluarga
pamannya Via.”
“Aku terserah Kak Ati saja, sebaiknya Via kita undang lagi Kak. Kita
bicarakan komitmen pemberian resep ini. Kalau perlu, paman Via juga diundang.”
Saran Ami.
Pertemuan membuahkan kesepakatan bahwa Via maupun pamannya harus bisa
menjaga resep lapis Suji turun temurun tersebut supaya tidak bocor ke pihak
lain. Pemasaran pun wilayahnya dibagi sehingga tak mengganggu pemasaran Lapis
Suji A2. Semua setuju dan keadaan mencair.
Delapan bulan kemudian, Via dan Pamannya mendatangi Ati dan Ami.
Mengucapkan terima kasih bahwa usaha Paman Via sudah berjalan lancar walaupun
ada naik turunnya. Paman Via sudah memiliki pelanggan tetap. Tetapi resep yang
dikasih Ati dan Ami tak bisa dijalankan konsisten secara penuh. Paman Via tak
sanggup mencari daun suji dalam jumlah banyak dan tak ada waktu untuk mencari
dan menanamnya. Sehingga Ia memodifikasi resep yang dikasih Ati dan Ami menjadi
Kue Lapis beberapa rasa, Mocca, Cokelat, Kopi dan Pandan. Komposisi tepung
berasnya pun dikurangi dan diberi sedikit bahan pengawet karena Paman Via
menerima pesanan dari luar kota. Kue lapis Paman Via diberi merek “Lapis Aneka Rasa”
“Tidak masalah soal resep Paman, berarti pasarnya Paman memang Aneka Rasa.
Memang tak mudah Paman, mencari daun suji bahkan kami berdua sampai
hujan-hujanan, kepanasan dan berani malu meminta ke rumah-rumah yang ata
tanaman suji nya. Ada yang bersedia ditukar kue lapis, uang bahkan yang berbaik
hari akan memberikan daun suji dengan sukarela di halaman rumahnya.
Batang-batang suji pun kami tanam di halaman depan dan belakang rumah kami”
Kata Ati.
“Iya Nak, Paman tidak sanggup kalau harus berkeliling mencari daun suji dan
tidak mengejar pesanan. Tapi bagaimana pun saya berterima kasih, dari resep
yang diberikan, saya sudah bisa membuat usaha sendiri dengan kue Lapis Aneka
Rasa.” Jawan paman Via dengan sopan.
“Jadi, resep Lapis Suji Kak Ati dan Ami tetap bertahan ya? Tak ada yang
bisa menyamai bahkan setelah dikasih pun untuk menjalani konsistensi pewarna
alami dan komposisi bahannya tak tersamakan. Ini memang resep punya keluarga
kalian.” Via menimpali dengan senyum lebar.
“Kalau begitu, kita bisa saling melengkapi ya, kalau ada pesanan yang
menginginkan Kue Lapis yang bermacam-macam rasanya, bisa saling
merekomendasikan.” Tambah Ami yang datang dari dapur sambil membawa minuman
hangat dan sepiring kue kering.
Kesepakatan pun berlanjut, menjadi sebuah sinergi, saling melengkapi dan
tercipta kerja sama dari masing-masing produk kue lapisnya. Walau usahanya
sejenis tapi mempunyai ciri khas dan pasar masing-masing.
Jadi inget dulu aku pernah bikin cerpen tapi gak pernah berani dipublish :)
ReplyDeleteInspiratif ni teh cerpennya. Dulu ibu saya jg jualan kue.
ReplyDeletewaah... ternyata membawa berkah, Alhamdulillah. Inspiratif mba :)
ReplyDeleteOmong 2 jadi laper bacanya..heu
ReplyDeleteCeritanya mengalir. Ikut menikmati ketegangan di meja makan juga. Love it, teh.
ReplyDeleteKonfliknya halus tapi tetap terasa
ReplyDeletePesan moralnya baguuuus
Aku suka
Teh keren deh, cuma soal daun suji tapi tetep bikin penasaran pengen baca sampe habis..
ReplyDeleteBtw, aku pertama nyobain kue lapis daun suji pas smp dan sampe terheran2 kok ada kue lapis seenak itu, hihihi..
Mama saya dulu juga bikin kue lapis daun suji. Juga kalo bikin kelepon. Dan cemilan tradisional lainnya. *lapeeer
ReplyDeleteCerpennya keren, Ani. Ayo, bikin lagi donk.
ReplyDelete