Mengingat kejayaan
pertanian Indonesia Tahun 1980-an, ketika saya masih sekolah dasar, sering
mendengar berita atau cerita orang tua dan guru tentang kejayaan Indonesia
sebagai negara agraris. Bahkan melalui PBB saat itu Indonesia menyumbang beras
untuk bencana kelaparan di Negara Afrika. Bangga sekali saya, saat itu saya
seolah hidup di negara terhebat dan sangat bangga menjadi Bangsa Indonesia
dalam kapasitas usia saya yang masih tujuh tahun.
Tak Cuma padi, saat itu
berbagai palawija tersedia di pasar, ada Singkong, Ubi jalar, Ganyol, Talas dan
lain-lain. Semua harganya sangat murah. Bahkan keluarga besar saya menjadikan
bahan palawija tersebut sebagai sumber camilan yang bisa diolah menjadi
berbagai varian makanan, mulai dari keripik, kue, talam sampai bolu. Indah
sekali mengenangnya.
Zaman berganti, saat
saya mulai dewasa, ada sesuatu yang lain dari suasana yang serba melimpah
sumber karbohidrat dan pangan lainnya. Berita-berita yang saya terima berbalik,
semua membuat saya shock dan kecewa.
Indonesia impor beras? Singkong juga? Oh
My God! Ironis sekali dengan paradigma Indonesia negara agraris, negara
kaya sumber daya alam dan segambreng predikat kemakmuran lainnya. Tapi kini
Indonesia mengimpor beberapa bahan makanan dari negara luar? Sungguh membuat hati
kecil saya berontak. Ada apa dengan negara tempat saya bernaung ini? Apa yang
salah sehingga terjadi hal seperti ini?
Buku Karya Agus Pakpahan |
MT Felix Sitorus (Kiri) Agus Pakpahan (Tengah) |
Pertanyaan saya
terjawab di acara peluncuran Buku Perkebunan
Pemerdekaan Indonesia Karya Prof.Dr.Ir. Agus Pakpahan, APU di menara 165 Jakarta
Selatan. Acara yang diselenggarakan Media Perkebunan dari Kementerian Pertanian RI ini membahas sistem perkebunan Indonesia yang belum juga mengalami
kemajuan, bahkan masih jauh dalam upaya memakmurkan masyarakat sekaligus
petaninya.
Menarik sekali bahasan
dan diskusi yang berlangsung selama dua jam lebih ini. Bahkan rasa nasionalisme
pun bergolak di antara peserta yang hadir. Karena semua keadaan ironis kondisi
pertanian Indonesia ini membuat gemas untuk mencari solusi terbaik demi
kemajuan perkebunan Indonesia. Agus Pakpahan ditemani Narasumber lain, yakni MT
Felix Sitorus, Sosiolog Agribisnis; Center for Smart Agribusiness (CeSA),
Politeknik Agroindustri Subang.
Saya sebagai orang
awam, selama ini menganggap pertanian dan perkebunan Indonesia yang mempunyai
lahan dan produksi melimpah, baik-baik saja walaupun beberapa informasi
dikabarkan Indonesia mengimpor beberapa bahan makanan pokok. Ternyata semuanya
terbuka di diskusi ini, saya benar-benar baru memahami sistem pertanian dan
perkebunan yang dapat memberikan kesejahteraan dan pembangunan bagi masyarakat
dan petani itu bagaimana seharusnya.
Menurut Agus Pakpahan,
sistem pertanian dan perkebunan yang baik bisa dikatakan memberi kesejahteraan
dan pembangunan bagi masyarakat jika sistemnya berpihak pada petani.
Pembangunan dan kesejahteraan serta penerapan ilmu dalam hal ini tak bisa
melalui instruksi, tekanan apa lagi berbagai sikap yang cenderung menguasai.
Pembangunan dan edukasi kepada para petani bisa disampaikan dengan kesadaran
tinggi.
Artinya, walaupun
kebun-kebun petani dan masyarakat umum dikelola dan diberdayakan oleh
perusahaan dan pemerintah, tapi tetap memberikan keleluasaan kepada para
pemilik kebun untuk berkembang dan memberikan keputusan untuk kebaikan bersama.
Hasilnya pun adalah merupakan pemberdayaan yang bermanfaat langsung bagi
kesejahteraan mereka dengan penyesuaian pemenuhan kebutuhan para petani, mulai
dari kebutuhan bibit, penanaman, infrastruktur dan biaya cocok tanam.
Sistem perkebunan yang
telah maju dan mampu menyejahterakan masyarakatnya bisa mengambil inspirasi
dari Malaysia yang menerapkan model FELDA (Federal Land Development Authority)
yang mengelola perkebunan milik petani. Negara lainnya yang sektor
perkebunannya sudah maju adalah India dengan teh nya yang mendunia yang dikenal
dengan Tata Tea, yang berhasil menaklukan pasar teh di Inggris dan sekarang
menjadi world’s second largest global
branded tea operation.
Mengapa Indonesia belum
bisa mengejar ketinggalan dalam kemajuan perkebunannya? Sementara Indonesia
mempunyai lahan sangat luas dengan segala potensinya? Menurut sumber pada artikel Infosawit.com menjelaskan bahwa Indonesia penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan
lahan 10,2 ha. Bahkan dimiliki oleh pengusaha Indonesia, tetapi belum mampu
mengekspor produk jadi, masih sebatas dalam bentuk mentah saja dan belum bisa mengekspor yang punya
nilai tambah. Artinya, produk kelapa sawit yang dihasilkan belum memberikan
banyak sumbangsih bagi petani atau masyarakat karena penghasilan yang didapat
tak sesuai dengan harga jual di pasaran luar negeri yang tinggi yang tidak
dirasakan oleh masyarakat Indonesia sendiri.
Untuk memperkuat
prinsip dalam perkebunan sawit, prosedur Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang
telah dimiliki Indonesia dapat diperkuat sebagai landasan atau acuan standar
untuk minyak sawit yang beredar di pasaran.
Sementara menurut
artikel di Industri Bisnis yang menginformasikan bahwa Indonesia adalah penghasil kakao dengan sebaran
terbesar ke tiga di dunia dengan penghasilan 400.000 per ton, memiliki banyak
potensi untuk mengembangkan produk yang mempunyai nilai lebih dan bisa menjadi
sumber penghasilan perkebunan yang lebih besar lagi.
Dua contoh potensi di
atas belum benar-benar dikelola dengan maksimal. Belum mampu mengekspor bahan
jadi yang menjadi trade mark
Indonesia sendiri. Belum lagi hasil kopi, karet dan hasil perkebunan lainnya.
Indonesia hanya menjadi
pemasok bahan mentah yang nilai jualnya jauh lebih rendah setelah diolah oleh
negara pengimpor. Ini tentunya menjadi PR besar bagi perkebunan di Indonesia.
Tema dari diskusi ini
sangat membuka pikiran, bahkan saya yang orang awam merasa ingin berkontribusi
setidaknya lewat tulisan untuk mempublikasikan hal ini. Menurut saya, semua
yang berkepentingan selayaknya bersinergi untuk menemukan solusi terbaik untuk kemajuan
perkebunan Indonesia agar bisa berdaya saing dengan nilai tambahnya. Tidak
hanya mampu menjadi pemasok. Infrastruktur, Sumber Daya Manusia dan sikap-sikap
kreatif serta inovatif perlu didorong. Begitu pula ajakan untuk generasi muda
agar mau belajar lebih giat lagi dan ada perhatian terhadap pertanian. Semoga
pendidikan pertanian dan perkebunan menjadi banyak peminatnya agar di masa
mendatang ada regenerasi yang bisa menyegarkan sistem perkebunan Indonesia
menuju yang lebih baik lagi.
Jangan sampai sumber
daya alam Indonesia yang melimpah dan berpotensi ini tidak dimanfaatkan dan
diolah menjadi sesuatu yang bernilai lebih di mata dunia. Jangan sampai
bertambah miris. Kita sering menikmati kafe-kafe dan coffee shop branded luar padahal bahan baku jelas dari kita.
Dalam buku karya Agus
Pakpahan ini, selain membahas sistem perkebunan berdasarkan observasi dan
berbagai survei, di dalamnya berisi sejarah perkebunan dari beberapa negara
termasuk Indonesia yang sangat menginspirasi dan asyik dibacanya. Benar-benar
memberikan banyak wawasan perkebunan dari segala aspek.
Teh ani tulisan sgt menginspiratif jd mengingatkan masa kecil dulu sk nyemil rebusan ganyong yg skrg udh susah dicari :)
ReplyDeleteBegitulah. Perkebunan2 yang ada sekarang ini yang dikelola BUMN adalah warisan kolonial. Semua serba tua. Pun dengan sistem manajemennya.
ReplyDeletePertanian dalam arti sempit (tani sawah) juga masih banyak dimiliki petani gurem. Maksudnya kepemilikan lahan yang sempit-sempit. Tanah pertanian adalah warisan turun temurun yang akhirnya dibagi-bagi. Hal ini semakin menyulitkan pengaturan baik itu keseragaman waktu tanam maupun jenis tanaman.
Jadi ingat jaman saya usia SD beras harganya / kg Rp.7.500 jadi uang seribu sudah bisa beli beras.
ReplyDeleteApaa? Berhektar2 hutan ditebang untuk kelapa sawit namun tidak berkontribusi??? Ga masuk diakaaal??? *keseel mengetahui fakta ini.
ReplyDeleteMiris ya Teh, sekarang negara kita harus impor besar dan makanan pokok lainnya, semoga kedepannya kita bisa ekspor ke negara lain ya Teh. Aamiin...
ReplyDeletesistem keberpihakan pada petani masih kurang besar ya teh padahal Indonesia ini perkebunannya bisa dibilang luas
ReplyDeleteBetul mba. Perkebunan di mana-mana, tapi kita malah impor bahan pangan :(
ReplyDeleteSetuju atau tidak, sandang pangan Indonesia di zaman orba jauh lebih maju dari zaman sekarang. Berharap kejayaan sandang pangan kembali seperti dulu, tidak ada yang namanya impor beras atau bahan pokok dari negara orang.
ReplyDelete*piye kabare? Enak zaman ku toh :p
teh ani berat amat bahasannya, perkebunan dan pertanian saling bersaing memperebutkan lahan, tapi ad ajuga sih yang bersinergi
ReplyDeleteBetul mba, harus bisa memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dengan sebaik baiknya. Indonesia itu kaya akan hasil kebunnya, perkebunan kopi atau biji kopi Indonesia sangat diliirik oleh Negara di luar sana.
ReplyDeleteIndonesia import beras, trus Indonesia juga import beras plastik huhuhuhuh. Susah untuk benahi mental pemimpin di negara ini kalo pikirannya ngga lepas dari korupsi dan gaya hidup mewah. Mereka cenderung ngga peduli sama orang lain yg ngge menguntungkan untuk mereka. Sedih ya da.
ReplyDeleteSangat disayangkan ya negara yang kaya akan sumber daya alam dan menjadi paru paru dunia, harus impor kebutuhan pokok sungguh memprihatinkan sekali.
ReplyDelete