Perkebunan Menjadikan Suatu Negara Berdaulat - Dunia-Spasi

Tuesday, 10 May 2016

Perkebunan Menjadikan Suatu Negara Berdaulat

Mengingat kejayaan pertanian Indonesia Tahun 1980-an, ketika saya masih sekolah dasar, sering mendengar berita atau cerita orang tua dan guru tentang kejayaan Indonesia sebagai negara agraris. Bahkan melalui PBB saat itu Indonesia menyumbang beras untuk bencana kelaparan di Negara Afrika. Bangga sekali saya, saat itu saya seolah hidup di negara terhebat dan sangat bangga menjadi Bangsa Indonesia dalam kapasitas usia saya yang masih tujuh tahun.

Tak Cuma padi, saat itu berbagai palawija tersedia di pasar, ada Singkong, Ubi jalar, Ganyol, Talas dan lain-lain. Semua harganya sangat murah. Bahkan keluarga besar saya menjadikan bahan palawija tersebut sebagai sumber camilan yang bisa diolah menjadi berbagai varian makanan, mulai dari keripik, kue, talam sampai bolu. Indah sekali mengenangnya.

Zaman berganti, saat saya mulai dewasa, ada sesuatu yang lain dari suasana yang serba melimpah sumber karbohidrat dan pangan lainnya. Berita-berita yang saya terima berbalik, semua membuat saya shock dan kecewa. Indonesia impor beras? Singkong juga? Oh My God! Ironis sekali dengan paradigma Indonesia negara agraris, negara kaya sumber daya alam dan segambreng predikat kemakmuran lainnya. Tapi kini Indonesia mengimpor beberapa bahan makanan dari negara luar? Sungguh membuat hati kecil saya berontak. Ada apa dengan negara tempat saya bernaung ini? Apa yang salah sehingga terjadi hal seperti ini?

Buku Karya Agus Pakpahan

MT Felix Sitorus (Kiri) Agus Pakpahan (Tengah)

Pertanyaan saya terjawab di acara peluncuran Buku Perkebunan Pemerdekaan Indonesia Karya Prof.Dr.Ir. Agus Pakpahan, APU di menara 165 Jakarta Selatan. Acara yang diselenggarakan Media Perkebunan dari Kementerian Pertanian RI ini membahas sistem perkebunan Indonesia yang belum juga mengalami kemajuan, bahkan masih jauh dalam upaya memakmurkan masyarakat sekaligus petaninya.

Menarik sekali bahasan dan diskusi yang berlangsung selama dua jam lebih ini. Bahkan rasa nasionalisme pun bergolak di antara peserta yang hadir. Karena semua keadaan ironis kondisi pertanian Indonesia ini membuat gemas untuk mencari solusi terbaik demi kemajuan perkebunan Indonesia. Agus Pakpahan ditemani Narasumber lain, yakni MT Felix Sitorus, Sosiolog Agribisnis; Center for Smart Agribusiness (CeSA), Politeknik Agroindustri Subang.

Saya sebagai orang awam, selama ini menganggap pertanian dan perkebunan Indonesia yang mempunyai lahan dan produksi melimpah, baik-baik saja walaupun beberapa informasi dikabarkan Indonesia mengimpor beberapa bahan makanan pokok. Ternyata semuanya terbuka di diskusi ini, saya benar-benar baru memahami sistem pertanian dan perkebunan yang dapat memberikan kesejahteraan dan pembangunan bagi masyarakat dan petani itu bagaimana seharusnya.

Menurut Agus Pakpahan, sistem pertanian dan perkebunan yang baik bisa dikatakan memberi kesejahteraan dan pembangunan bagi masyarakat jika sistemnya berpihak pada petani. Pembangunan dan kesejahteraan serta penerapan ilmu dalam hal ini tak bisa melalui instruksi, tekanan apa lagi berbagai sikap yang cenderung menguasai. Pembangunan dan edukasi kepada para petani bisa disampaikan dengan kesadaran tinggi.

Artinya, walaupun kebun-kebun petani dan masyarakat umum dikelola dan diberdayakan oleh perusahaan dan pemerintah, tapi tetap memberikan keleluasaan kepada para pemilik kebun untuk berkembang dan memberikan keputusan untuk kebaikan bersama. Hasilnya pun adalah merupakan pemberdayaan yang bermanfaat langsung bagi kesejahteraan mereka dengan penyesuaian pemenuhan kebutuhan para petani, mulai dari kebutuhan bibit, penanaman, infrastruktur dan biaya cocok tanam.
Sistem perkebunan yang telah maju dan mampu menyejahterakan masyarakatnya bisa mengambil inspirasi dari Malaysia yang menerapkan model FELDA (Federal Land Development Authority) yang mengelola perkebunan milik petani. Negara lainnya yang sektor perkebunannya sudah maju adalah India dengan teh nya yang mendunia yang dikenal dengan Tata Tea, yang berhasil menaklukan pasar teh di Inggris dan sekarang menjadi world’s second largest global branded tea operation.

Mengapa Indonesia belum bisa mengejar ketinggalan dalam kemajuan perkebunannya? Sementara Indonesia mempunyai lahan sangat luas dengan segala potensinya? Menurut sumber pada artikel Infosawit.com  menjelaskan bahwa Indonesia penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan lahan 10,2 ha. Bahkan dimiliki oleh pengusaha Indonesia, tetapi belum mampu mengekspor produk jadi, masih sebatas dalam bentuk mentah saja dan belum bisa mengekspor yang punya nilai tambah. Artinya, produk kelapa sawit yang dihasilkan belum memberikan banyak sumbangsih bagi petani atau masyarakat karena penghasilan yang didapat tak sesuai dengan harga jual di pasaran luar negeri yang tinggi yang tidak dirasakan oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Untuk memperkuat prinsip dalam perkebunan sawit, prosedur Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang telah dimiliki Indonesia dapat diperkuat sebagai landasan atau acuan standar untuk minyak sawit yang beredar di pasaran.

Sementara menurut artikel di Industri Bisnis yang menginformasikan bahwa Indonesia adalah penghasil kakao dengan sebaran terbesar ke tiga di dunia dengan penghasilan 400.000 per ton, memiliki banyak potensi untuk mengembangkan produk yang mempunyai nilai lebih dan bisa menjadi sumber penghasilan perkebunan yang lebih besar lagi.
Dua contoh potensi di atas belum benar-benar dikelola dengan maksimal. Belum mampu mengekspor bahan jadi yang menjadi trade mark Indonesia sendiri. Belum lagi hasil kopi, karet dan hasil perkebunan lainnya.

Indonesia hanya menjadi pemasok bahan mentah yang nilai jualnya jauh lebih rendah setelah diolah oleh negara pengimpor. Ini tentunya menjadi PR besar bagi perkebunan di Indonesia.

Tema dari diskusi ini sangat membuka pikiran, bahkan saya yang orang awam merasa ingin berkontribusi setidaknya lewat tulisan untuk mempublikasikan hal ini. Menurut saya, semua yang berkepentingan selayaknya bersinergi untuk menemukan solusi terbaik untuk kemajuan perkebunan Indonesia agar bisa berdaya saing dengan nilai tambahnya. Tidak hanya mampu menjadi pemasok. Infrastruktur, Sumber Daya Manusia dan sikap-sikap kreatif serta inovatif perlu didorong. Begitu pula ajakan untuk generasi muda agar mau belajar lebih giat lagi dan ada perhatian terhadap pertanian. Semoga pendidikan pertanian dan perkebunan menjadi banyak peminatnya agar di masa mendatang ada regenerasi yang bisa menyegarkan sistem perkebunan Indonesia menuju yang lebih baik lagi.

Jangan sampai sumber daya alam Indonesia yang melimpah dan berpotensi ini tidak dimanfaatkan dan diolah menjadi sesuatu yang bernilai lebih di mata dunia. Jangan sampai bertambah miris. Kita sering menikmati kafe-kafe dan coffee shop branded luar padahal bahan baku jelas dari kita.
Dalam buku karya Agus Pakpahan ini, selain membahas sistem perkebunan berdasarkan observasi dan berbagai survei, di dalamnya berisi sejarah perkebunan dari beberapa negara termasuk Indonesia yang sangat menginspirasi dan asyik dibacanya. Benar-benar memberikan banyak wawasan perkebunan dari segala aspek.


12 comments:

  1. Teh ani tulisan sgt menginspiratif jd mengingatkan masa kecil dulu sk nyemil rebusan ganyong yg skrg udh susah dicari :)

    ReplyDelete
  2. Begitulah. Perkebunan2 yang ada sekarang ini yang dikelola BUMN adalah warisan kolonial. Semua serba tua. Pun dengan sistem manajemennya.
    Pertanian dalam arti sempit (tani sawah) juga masih banyak dimiliki petani gurem. Maksudnya kepemilikan lahan yang sempit-sempit. Tanah pertanian adalah warisan turun temurun yang akhirnya dibagi-bagi. Hal ini semakin menyulitkan pengaturan baik itu keseragaman waktu tanam maupun jenis tanaman.

    ReplyDelete
  3. Jadi ingat jaman saya usia SD beras harganya / kg Rp.7.500 jadi uang seribu sudah bisa beli beras.

    ReplyDelete
  4. Apaa? Berhektar2 hutan ditebang untuk kelapa sawit namun tidak berkontribusi??? Ga masuk diakaaal??? *keseel mengetahui fakta ini.

    ReplyDelete
  5. Miris ya Teh, sekarang negara kita harus impor besar dan makanan pokok lainnya, semoga kedepannya kita bisa ekspor ke negara lain ya Teh. Aamiin...

    ReplyDelete
  6. sistem keberpihakan pada petani masih kurang besar ya teh padahal Indonesia ini perkebunannya bisa dibilang luas

    ReplyDelete
  7. Betul mba. Perkebunan di mana-mana, tapi kita malah impor bahan pangan :(

    ReplyDelete
  8. Setuju atau tidak, sandang pangan Indonesia di zaman orba jauh lebih maju dari zaman sekarang. Berharap kejayaan sandang pangan kembali seperti dulu, tidak ada yang namanya impor beras atau bahan pokok dari negara orang.

    *piye kabare? Enak zaman ku toh :p

    ReplyDelete
  9. teh ani berat amat bahasannya, perkebunan dan pertanian saling bersaing memperebutkan lahan, tapi ad ajuga sih yang bersinergi

    ReplyDelete
  10. Betul mba, harus bisa memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dengan sebaik baiknya. Indonesia itu kaya akan hasil kebunnya, perkebunan kopi atau biji kopi Indonesia sangat diliirik oleh Negara di luar sana.

    ReplyDelete
  11. Indonesia import beras, trus Indonesia juga import beras plastik huhuhuhuh. Susah untuk benahi mental pemimpin di negara ini kalo pikirannya ngga lepas dari korupsi dan gaya hidup mewah. Mereka cenderung ngga peduli sama orang lain yg ngge menguntungkan untuk mereka. Sedih ya da.

    ReplyDelete
  12. Sangat disayangkan ya negara yang kaya akan sumber daya alam dan menjadi paru paru dunia, harus impor kebutuhan pokok sungguh memprihatinkan sekali.

    ReplyDelete

@templatesyard