Ketika diberi tahu tentang segala aturan yang sudah
menjadi kebiasaan para leluhur oleh orangtua kita, terkadang langsung
menyangkal dan tidak membenarkannya.
Serta merta akan menganggap itu adalah adat yang kolot
dan tak patut ditelusuri untuk dipelajari atau diselami maknanya.
Padahal tak semua kearifan dan adat leluhur itu
bertentangan dengan logika dan agama. Banyak sekali nilai positif yang bisa
diambil dari semua petuah orangtua tersebut.
Saya sendiri yang sering melakukan perbincangan dengan
nenek buyut ketika beliau masih ada. Sangat banyak hal menarik yang perlu
diketahui. Saya biasanya memerhatikan keseharian nenek buyut saya di rumahnya.
Biasanya saya suka memerhatikan adat dalam hal memasak
dan kuliner ketika berlibur di rumah Uyut saya dulu.
Setiap hari ketika hendak memasak nasi, ketika
mengambil beras dari gentong, beliau selalu menjumput segenggam beras dari satu
wadah yang telah di ambilnya. Lalu dimasukan ke dalam wadah tertutup lainnya.
Hal ini dilakukan agar suatu saat kekurangan persediaan beras, akan ada
simpanan beras cadangan dalam wadah lain.
Pada suatu hari, saya dan semua sepupu yang sama
berlibur di rumah Uyut, siang hari kami ingin merujak buah mangga yang berbuah
lebat di halaman rumah Uyut. Dengan semangat kami menyediakan peralatan
merujak, mulai dari cobek, ulekan, bumbu rujak dan buah mangga. Kami berbagi
tugas. Ada yang mengupas mangga, mengulek bumbu dan menyiapkan wadah. Saya
kebagian menyiapkan wadah, adik saya mengupas mangga. Adik saya langsung
menyayat kulit mangga dari pangkal buah yang tidak ada tangkainya. Dengan
segera Uyut memberi tahu bahwa mengupas buah-buahan harus dari pangkal buah
bekas tangkainya. Kalau mengupas dari pangkal yang tidak ada tangkainya buah
akan pahit. Kata Uyut. Padahal maksud Uyut agar mudah digenggam dan dikupas.
Ketika sepupu saya mengulek bumbu rujak dan kecapean
lalu minta sepupu yang satu menggantikannya, uyut juga memberi tahu bahwa
berganti-ganti ketika mengulek bumbu di cobek adalah pamali dan nantinya rezeki
yang ia peroleh akan diambil sama orang yang mengambil alih pekerjaan itu. Lalu
sepupu saya mengerjakan tuntas mengulek bumbu rujak sampai selesai karena takut
rezekinya di ambil alih. Padahal di balik mitos ini tujuan Uyut saya adalah
memberi pesan agar kita harus bisa menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas. Jangan
ditunda atau melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.
Ketika kami makan bersama, sepupu saya makan tak
dihabiskan. Masih ada sisa-sisa nasi di piringnya. Uyut saya memberi warning
katanya kalau habis makan dan masih tersisa butir-butir nasi atau lauk, kelak
akan mendapatkan pasangan yang buruk rupa atau berwajah kasar. Kami pun
berlomba-lomba untuk membersihkan sisa makanan dengan memakannya. Kecuali duri
dan tulang ikan. Di balik pesan Uyut, tersirat bahwa jika masih tersisa makanan
yang masih layak konsumsi di piring makan kita, itu artinya telah membuang
makanan dan mubazir. Sangat pantang membuang makanan yang masih layak.
Dari sekian pesan yang dibungkus mitos oleh para
leluhur secara turun temurun tersebut, ada baiknya kita selami makna
tersembunyi di dalamnya. Jika para orangtua mengumpamakan dengan sebab akibat
yang membuat kita merinding. Itu hanyalah sebuah taktik agar kita mau mematuhinya.
Mematuhi adat yang masih bisa diterima akal sehat
secara logis tak ada salahnya untuk dituruti karena pasti ada manfaatnya.
Setiap orangtua punya misi pesan yang bertujuan untuk kebaikan generasi
penerusnya dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Kearifan adat dari leluhur juga dapat mengingatkan
akan kendali perilaku sehari-hari. Agar bisa lebih beradab dan disiplin.
Tak semua yang kuno itu kolot dan tak berguna, pasti ada nilai tersembunyi di dalamnya maka kita harus bisa menyelaminya dengan bijak.
Iya, teh..mitos2 seperti itu sering bgt di omongin oleh para nenek2.
ReplyDeletebanyak bgt yah, sayang masa sekarang org2 udah ga perduli lg.
kalo masak ikan kepala dan ekornya harus di potong, karena jaman dulu ga ada wajan yang besar.. :)
ReplyDeleteuntuk nasi saya setuju banget, apalagi jika ingat masih banyak saudara-saudara kita yang menderita kelaparan...
Kalau saya tak setuju pamali nasi tersisa itu. Dikasi ke ayam juga bagus kok. Masalahnya adalah dampak buruk kekenyangan dan juga ada ajaran Islam yg mengatakan berhentilah makan sebelum kenyang.
DeleteApalagi kalau dihitung-hitung, dari mulai panen sampai menjadi nasi di piring sekitar 15 % terbuang menurut sebuah penelitian di Univ Hasanuddin Makasar.
Ketika menyabit ada bulir padi yg rontok, ketika merontok juga pasti ada yg terlempar ke kejauhan, ketika mengangkut padi itu dari sawah ke desa, ketika menjemur, ketika menumbuk atau menggiling, ketika menampi, belum lagi kalau punya kerak, dst.
Artinya nasi terbuang di piring itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan yang terbuang total 15 % itu.
Nah kalau pamali lainnya saya setuju.
Yep, gak semua mitos itu gak baik. Tentu ada alasan dibalik itu. Dan ketika para leluhur kita menganalogikannya dengan sesuatu yang membuat kita 'takut', saya kok malah berpikir bahwa leluhur kita itu sangat 'kreatif' hahaha... ^^
ReplyDeleteDulu saya tidak begitu 'ngeuh' dengan "Pamali", baru sadar bahwa itu bukan semata-mata mitos ya pas kelas 3 SMA. Tugas karya tulis Antropologi menjadikan saya memilih untuk mempelajari istilah Pamali.
ReplyDeleteSaat itu tidak terlalu sulit untuk mencari referensi catatan, apalagi baru saja pemenang kedua LPIR-nya mengangkat masalah Pamali juga. Mulai dari keterkaitannya dengan "Malino" di Sulawesi sampai serapan istilah.
Saya berasumsi tidak (belum) ada yang salah dengan "Pamali". Hasil tanya jawab kesana kemari, kepada para sesepuh dan tokoh adat, banyak efek logis sebetulnya seperti yang difahami seandainya melanggar Pamali.
Misalnya, dalam bahasa Sunda ada istilah "Awewe ulah kaluar ti peuting, Pamali, bisi aya jurig nyiliwuri" (Perempuan jangan keluar di malam hari, Pamali, takut ada setan nyasar).
Kalau diteliti lebih jauh, setan disitu bukan berarti dalam sosok hantu, tapi setan yang akan mempengaruhi diri kita untuk berbuat yang tidak pantas dan merugikan, atau mempengaruhi orang lain sehingga berbuat jahat kepada kita. Nyatanya, malam itu tetaplah berbahaya.
"Makan tidak boleh sambil ngomong, Pamali !". Ini juga benar adanya, selain tidak pantas juga tidak bagus kalau murut harus 'multi tasking'.
Kesimpulan komentar saya, sepanjang yang saya ketahui "Pamali" adalah istilah lain dari "Tidak Boleh", yang artinya jika itu dilanggar akan ada konsekuensi negatif yang harus ditanggung. Konsekuensi tersebut sebetulnya bisa logis jika kita gunakan teori kausalitas (sebab - akibat)
Istilah ini lahir atas pemahaman manusia terhadap Wahyu Allah (tidak pernah ada yang salah kan dengan wahyu Allah ?), juga atas reaksi akal dalam menganalisa kausalitas sebuah kejadian sehingga menjadi sebuah ilmu pengetahuan. So, "Pamali" adalah bagian dari ilmu pengetahuan. Believe or not, terserah pada pemahaman masing-masing.
(Duh, tau-tau panjang beginimah dijadiin postingan dah di blog. Heuheuheuheuuuu... :D )
Setuju dgn Anda. Postingan panjang gak apa-apa, kalau memang tak dilarang
Deleteada juga mitos larangan makan makan di atas tempat tidur, terutama untuk ibu hamil. katanya nanti anaknya kudisan. padahal mah alasannya biar tempat tidurnya nggak kotor. kalo kotor kan nantinya disemutin.
ReplyDeleteYang paling saya sukai adalah pamali menggangu hutan itu (hutan larangan, hutan keramat, dsb)
ReplyDeleteRupanya maksudnya adalah agar keseimbangan lingkungan hidup tetap terjaga, sehingga penyakit seperti demam berdarah dan flu burung tidak timbul, demikian juga penyakit tanaman pertanian.
Pasokan air utk irigasi juga lestari, demikian juga utk memutar kincir/dinamo (PLTA). Bahkan perobahan iklim yg membuat nelayan tak bisa melaut dan angin puting beliung ygsemakin sering, semuanya itu adalah akibat hutan digunduli ditambah emisi gas rumah kaca (CO2, dll)